“Biarkan
dia tertawa” mengisahkan drama kehidupan keluarga kecil, yaitu keluarga Bapak Anjar.
Kisah bermula disaat Pak Anjar mendapatkan pekerjaan lebih layak dikota.
Pak
Anjar dengan latar belakang buruh kasar begitu bahagia luar biasa ketika salah
satu dari puluhan surat lamarannya diterima.
Sabila,
Istri dari Pak Anjar memiliki riwayat penyakit kanker kelenjar getah bening stadium
lanjut.
Anak
sulung mereka baru masuk sekolah dasar pada tahun itu, sedangkan anak keduanya
baru masuk Taman Kanak-kanak dan si bungsu baru bisa berjalan sebulan kemarin.
Tuntutan
pekerjaan membuat mereka terpaksa pindah ke kota, meskipun sebatas nge-kos.
Seakan
mereka “tak boleh” bahagia, baru satu minggu pindah ke kota, penyakit Sabila yang
selama ini terdiam muncul kembali dengan mendadak.
Dengan
segera Sabila dilarikan ke puskesmas terdekat dengan mengendarai angkot tetangga
oleh Pak Anjar.
Namun
seolah memang mereka “tidak pantas” bahagia, belum juga sampai di puskesmas,
Sabila menghembuskan nafas terakhir didalam angkot.
Segera
jasad Sabila dipulangkan ke kampung dengan harapan ada yang mengurusnya.
Pak
Anjar segera kembali pulang ke kos-kos-an untuk menjemput anak-anaknya yang
masih terlelap.
Mereka
menaiki bus Patas ber AC dengan maksud agar segera sampai ke kampung halaman.
Didalam
bus, Si Sulung dan si Bungsu asyik bermain petak umpet disela-sela tubuh orang
dewasa sambil berteriak girang.
Beberapa
penumpang yang nampak begitu suram wajahnya pun melontarkan protes kepada sang Bapak,
“Pak, tolong ya anaknya diatur, disini kan penumpang juga ingin tenang, sudah
capek pulang kerja, eh.. masih ada saja yang ganggu.”
Lalu
sang bapak sambil menggendong putri keduanya pun menjawabnya dengan senyum,
"maaf ya mas? ibu mereka baru saja meninggal sore ini, dan saya belum
mengatakan hal ini ke mereka, nanti begitu sampai rumah saya akan
mengatakannya, biarlah mereka merasakan kegembiraan yang menjadi hak mereka,
karena saya merasa mereka akan banyak kehilangan kegembiraan setelah tahu bahwa
ibu yang biasa mengasuh mereka dan menyayangi mereka setiap saat sudah tidak
bersama mereka lagi selamanya,, mas tidak keberatan kah, kalau mereka bermain
sebentar saja di bus ini?".
Laki-laki
itu terhenyak kaget, terharu, merasa bersalah. Dia termenung melihat fenomena
didepannya. Ia ingat kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuat kepada ibunya,
dan sejurus kemudian sambil meneteskan air mata lelaki itu meminta maaf kepada
bapak Anjar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar